Header Ads Widget


 

Wali Nagari Supayang Dinilai Abaikan Putusan Adat, Surat Lahan Suku Tanjung Tak Kunjung Ditandatangani



SWARADETIK.COM, SOLOK – Polemik terkait penandatanganan surat lahan milik kaum Suku Tanjung di Nagari Supayang, Kabupaten Solok, terus menggelinding. Sudah lebih dari satu bulan, proses administratif tersebut disebut-sebut dipersulit oleh Wali Nagari Supayang, Darmansyah.

Informasi awal yang diterima sejumlah awak media dan LSM menyebutkan, Wali Nagari berulang kali mengulur waktu dalam penandatanganan dokumen lahan tersebut. Padahal, lahan yang disengketakan itu sudah melalui proses musyawarah adat dan mendapat persetujuan dari pihak-pihak terkait.

Pertemuan terakhir antara kaum Suku Tanjung dan Wali Nagari Supayang digelar pada 28 Oktober 2025, setelah sebelumnya beberapa kali dilakukan pertemuan dengan melibatkan para tetua adat dan pemangku jabatan di Kerapatan Adat Nagari (KAN).

Namun hingga berita ini diturunkan, dokumen lahan yang telah disepakati berdasarkan hasil putusan adat itu belum juga ditandatangani oleh Wali Nagari.

“Masyarakat kaum Suku Tanjung menjadi resah dan gundah setelah Wali Nagari mengatakan berkas surat lahan belum lengkap,” ujar seorang narasumber berinisial N, Minggu (2/11/2025). 

Menurutnya, kejadian seperti ini baru pertama kali terjadi di Kanagarian Supayang. Ia menilai Wali Nagari mengabaikan keputusan Dewan Adat Minangkabau yang memiliki posisi tertinggi dalam urusan adat. Sementara itu, kaum Suku Melayu yang merupakan pihak berbatasan dengan lahan tersebut telah menyatakan persetujuan dan mengakui bahwa lahan dimaksud memang milik kaum Suku Tanjung.

Dokumen tersebut pun diklaim sudah ditandatangani oleh niniak mamak 21, sesuai ketentuan adat.

Warga menduga terdapat kejanggalan dalam penundaan ini. Sebab itu, mereka meminta aparat penegak hukum turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran oleh oknum Wali Nagari Supayang.

Upaya konfirmasi melalui pesan WhatsApp kepada Darmansyah telah dilakukan oleh awak media, namun belum mendapat respons. (*)

Penulis: Dedy Gunawan Samosir

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Wali Nagari yang menentang keputusan adat di Minangkabau berpotensi melanggar hukum, karena sistem pemerintahan nagari mengakui dan menghormati keberadaan hukum adat dan lembaga adat seperti Kerapatan Adat Nagari (KAN). Namun, status pelanggaran tersebut sebagai pelanggaran undang-undang atau sekadar pelanggaran norma adat bergantung pada konteks dan regulasi yang berlaku.
    Berikut penjelasannya:
    Pengakuan Hukum Adat: Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Di Sumatera Barat, Nagari diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya melalui Peraturan Daerah (Perda).
    Peran Wali Nagari dan KAN: Wali Nagari adalah pimpinan pemerintahan nagari, sedangkan KAN adalah lembaga yang membina, mengembangkan, dan memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan sengketa adat. Terdapat pembagian peran dan kewenangan antara pemerintah nagari dan lembaga adat, yang idealnya harus saling bersinergi.
    Hierarki Hukum: Keputusan adat yang disepakati melalui musyawarah di KAN memiliki kekuatan hukum mengikat dalam tatanan masyarakat adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang lebih tinggi.
    Potensi Pelanggaran Undang-Undang:
    Jika penentangan Wali Nagari terhadap keputusan adat melanggar Perda atau peraturan perundang-undangan nasional yang mengakui dan mengatur kewenangan adat, maka ia dapat dianggap melanggar hukum positif.
    Wali Nagari memiliki kewajiban untuk mengerti dan mengamalkan hukum adat serta adat salingka nagari (adat setempat). Mengabaikan keputusan adat yang sah dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan mandat jabatannya.
    Singkatnya, Wali Nagari wajib menghormati dan, dalam banyak kasus, menjalankan keputusan adat yang telah disepakati oleh KAN dan masyarakat setempat, selama keputusan tersebut tidak bertentangan dengan hukum nasional. Konflik antara keputusan adat dan kebijakan pemerintah nagari biasanya diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

    BalasHapus